by. ian. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MOP (Cerita Lucu ala Papua)

 
MOP yang merupakan Cerita-cerita lucu masyarakat di tanah Papua, MOP ini bisa juga diartikan sebagai  (Mati ketawa ala Orang Papua),

Apakah kamu pernah dengar lawakan ala PAPUA ini ? Jangan dibilang lagi ...dijamin lawakan cerita lucu teman-teman kita dari Papua ini pasti bakalan bikin kita ketawa habis-habisan.

Saya sendiri termasuk pengemar MOP, terkadang saya dibuat ngekek oleh teman-teman, dan perlu anda kalian ketahui bahwa ternya MOP ini cukup manjur mengobati orang-orang yang lagi Stresss.. Kalo tidak percaya silahkan main ke Papua dan suruh saudara-saudara kita di sini untuk MOP atau cerita-cerita lucu.

MOP ini seperti sudah menjadi kebiasan teman-teman di Papua, kadang-kadang, pas lagi ngopi atau nongkrong di lobi kampus, atau dimana saja kebetulan teman-teman sedang ngumpul, nah..paling sangat asyik apabila ada sahabat yang buka suara untuk cerita lucu MOP ala Papua ini, terkadang sampai lupa waktu pulang, gara-gara  ketagiahan dengar cerita lucu kekocakan mereka.
Mungkin kalian tidak percaya cobah deh simak guyonan MOP ala Papua di bawah ini :
---------------------------------------
Pada Suatu hari, ada seorang wartawan datang ke papua untuk melihat kebudayaan disana. Lalu, ia bertanya pada kepala sukunya:
*Wartawan : "Pak, terbuat dari apa koteka itu?".
-Kepala suku: "Oh..itu terbuat dari terong hutan yang dipanggang hingga kering, lalu isinya dibuang".
*Wartawan: "Kenapa tidak pakai daun pisang saja pak?".
-Kepala suku:"ko gilla ka!! Ko pikir sapu barang (kemaluan) ini LONTONG Ka..."!!!
 
----------------------------------
Ada Pace Orang Gunung Baru terima uang banyak dari hasil penjualan tanahnya yang baru dibeli oleh Pengusaha Kaya.
Bapak ini kekota dan berniat ingin beli HP yang paling bagus.
*Orang Gunung : HP yang Mahal disini harganya berapa....
-Penjual HP  : 10 Juta Pak ini Model terbaru...
*Orang Gunung : Ohhh No Problem...Bungkus saja saya punya uang banyak kok...saya akan bayar Cash..walau mahal sekalipun
-Penjual HP : O yah.. Bapak Tinggal dimana...
*Orang Gunung : ooo Bapak tinggal Di Pedalaman...Jauh dari sini
-Penjual HP : Waduh...Pak...coba di cek dulu siapa tau Signal di tempat Bapak tidak ada.
*Orang Gunung : ooo No Problem...Saya akan beli semuanya...jangan lupa ya ade....bungkus juga sekalian dengan signal-signalnya itu semua harganya berapa.
-Penjual HP : ?????? 
---------------------------------------
 
Nah ..ini baru satu dua dari sekian banyak cerita yang bisa kita dengarkan dari teman-teman di papua ini, belum lagi ditambah dialeg dan gaya khas mereka bercerita...dijamin pasti teman-teman sekalian ngakak sampai mati...ok bila ingin lebih seru lagi...silahkan main-main ke daerah Papua, dan minta diceritain MOP oleh teman-teman disini, pasti bakalan hilang penyakit Stresssnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Buah Matoa

 
Pernahkah teman-teman merasakan buah Matoa....? 
Ini adalah buah khas yang tumbuh di daerah Tanah Papua, Pohon Matoa itu sendiri  tergolong pohon yang besar dengan tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm. Umumnya berbuah sekali dalam setahun. Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian.
Penyebaran buah matoa di Papua hampir terdapat di seluruh wilayah dataran rendah hingga ketinggian ± 1200 m dpl. Tumbuh baik pada daerah yang kondisi tanahnya kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal. Iklim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang baik adalah iklim dengan curah hujan yang tinggi (>1200 mm/tahun).
Di Papua dikenal 2 (dua) jenis matoa, yaitu Matoa Kelapa dan Matoa Papeda. Ciri yang membedakan keduanya adalah terdapat pada tekstur buahnya, Matoa Kelapa dicirikan oleh daging buah yang kenyal dan nglotok seperti rambutan aceh, diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan Matoa Papeda dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm. Dilihat dari jenis warna buahnya, baik Matoa Kelapa mapun Matoa Papeda dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu matoa merah, kuning, dan hijau.
Buah matoa dapat dimakan dengan segar. Cita rasa buah ini sangat khas seperti rasa rambutan bercampur dengan lengkeng dan sedikit rasa durian. Karena rasa dan aroma yang dikandungnya membuat matoa memiliki nilai ekonomi penting bagi masyarakat Papua. Harga jual rata-rata mencapai Rp. 20.000/kg bahkan sering lebih dan tidak pernah murah, bahkan kalau baru berbuah pada musimnya dan masih kurang di pasaran buah ini bisa dijual mencapai harga100 ribu/kg, buah ini banyak dipesan peminat di luar Papua sebagai oleh-oleh. Bila sedang musim buah matoa banyak dijual di pasar-pasar, pedagang kaki lima, maupun dijual di tepi jalan. Buah matoa mempunyai kulit buah relatif tebal dan keras sehingga dapat tahan lama jika disimpan yaitu bisa disimpan hingga 1 minggu tanpa perlakuan pengawetan dan jika disimpan dalam suhu 5-10oC buah matoa dapat dipertahankan hingga 20 hari. 
Nah bagi teman-teman yang penasaran makan buah ini silahkan berkunjung ke tanah Papua, tapi harus pada musimnya ya..? kalo tidak musim biar mau beli  dengan harga selangitpun bakalan buah ini tidak akan ada di pasaran..he..he...Ntar kalo berminat siapa yang mau rasakan silahkan beli bila musimnya telah tiba..bakalan dijamin rasa buah ini lain daripada yang lain tidak sama dengan buah-buahan yang tumbuh di daerah lain, dan bila anda penasaran bagi yang tinggal berada diluar Papua kemungkinan tidak ada salahnya di coba dan bisa memesan kepada rekan-rekan kalian yang mungkin lagi melancong atau menetap di tanah Papua.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Koteka


Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya penduduk asli pulau Papua.
Koteka terbuat dari kulit Labu air, Lagenaria siceraria. Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam Upacara Adat.
Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Dikawasan Pegunungan yaitu seperti di Wamena, koteka masih dipakai. Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
Pembuatan koteka tersebut adalah buah yang mirip labu atau disebut bobbe oleh penduduk setempat, ini akan dipetik apabila buah tersebut sudah tua, kemudian buah tersebut dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka. 
Mengenai ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pakaiannya, ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku disana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan  dalam upacara adat.

Sedikit melihat sejarah kebelakang bahwa pada Tahun 1950-an, para Misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai penganti koteka. Ini tidak mudah.  Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye anti koteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit.

Nah saat ini kita sudah jarang melihat orang memakai pakaian ini, apalagi di daerah yang saat ini sudah semakin maju dengan aktivitas dan peradabannya, bagi teman-teman yang mungkin penasaran atau kepingin liat orang memakai Koteka mungkin hanya ada disaat acara-acara adat berlangsung itupun biasanya kita harus berkunjung ke daerah Wamena, dan bila kalian ingin berfoto dengan penduduk suku setempat yang memakai Koteka ini siapkan uang anda karena saat ini apapun itu bentuknya sudah jarang yang istilah Gratis..he..he... dan juga bagi  teman-teman yang kepingin koleksi Koteka, ini bisa banyak di dapatkan di tempat penjualan Souvenir-souvenir di Papua, tinggal tanya saja dimana tempat penjualan Souvenir Papua, pasti masyarakat setempat di papua sudah hapal diluar kepala dengan tempat-tempat yang menjual souvenir tersebut...kalo tidak percaya silahkan berkunjung ke Papua dan tanyakan sendiri..dijamin bakalan tidak pake lama deh...Jawabannya..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Tas Noken Papua

 
Noken yaitu tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu. Sama dengan tas pada umumnya tas ini digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Papua biasanya menggunakannya untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar. Karena keunikannya yang dibawa dengan kepala, noken ini di daftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia.
Tas Noken ini sendiri asli buatan mama-mama di Papua, tas tradisional Noken ini sendiri memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi masyarakat di tanah Papua terutama kebanyakan di daerah Pegunungan Puncak.
Tas Noken ini sendiri memiliki ukuran yang bervariasi, bahkan ada yang berukuran besar yang biasa dipakai oleh mama-mama yang bekerja sebagai petani dan mampu mengankat bahan hasil bumi yang cukup berat dengan menggunakan tas noken ini, dan uniknya lagi ini digunakan dengan memakai jidat atau bagian depan kepala mereka dengan mengalungkannya ke arah belakang punggung mereka, dan untuk tas noken yang berukuran kecil biasa dipergunakan oleh siswa-siswa pelajar asli putra-putri daerah Papua untuk dipergunakan sebagai tempat buku dan keperluan belajar di bangku sekolah maupun di kampus.
Dan selebihnya lagi biasanya tas Noken ini oleh pendatang yang biasa berkunjung ke Papua sebagai bahan oleh-oleh yang dibawah kedaerah masing-masing sebagai hiasan atau oleh-oleh bagi sanak keluarga mereka dikarenakan tas tersebut terlihat unik dipandang mata.
Noken merupakan kerajinan tangan khas Papua berbentuk seperti tas. Ada 250 etnis dan bahasa di Papua, namun semua suku memiliki tradisi kerajinan tangan Noken yang sama. Fungsi Noken sangat beragam. Namun, Noken biasa dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, sampai barang-barang belanjaan. Noken yang kecil biasa dipakai untuk membawa kebutuhan pribadi. Tak hanya itu, Noken juga dipakai dalam upacara dan sebagai kenang-kenangan untuk tamu.

Berbagai suku di Papua dan Papua Barat menyebut noken dengan berbagai nama. Kayu yang digunakan sebagai bahan baku juga berbeda-beda. Ada kulit kayu pohon Manduam, pohon Nawa bahkan anggrek hutan. Noken berbahan benang nilon dan serat kulit kayu tersebut dijual dengan harga rata-rata Rp 100 ribu - Rp 300 ribu tergantung ukuran. Warna-warni nan ceria dari tas ini menjadi kekhasan tersendiri.

Yang menarik dari Noken ini adalah hanya orang Papua saja yang boleh membuat Noken. Membuat Noken sendiri dahulu bisa melambangkan kedewasaan si perempuan itu. Karena jika perempuan papua belum bisa membuat Noken dia tidak bisa dianggap dewasa dan itu merupakan syarat untuk menikah. Dahulu Noken dibuat karena suku Papua membutuhkan sesuatu yang dapat memindahkan barang ke tempat yang lain. Tapi sekarang para wanita di Papua sudah jarang yang bisa membuat Noken padahal itu adalah warisan budaya yang menarik.

Sampai noken Papua dinominasikan dalam Daftar yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak karena dianggap sebagai ikon khas Papua yang mulai ditinggalkan masyarakat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

Makan Buah Pinang ala Papua

 
Buah pinang adalah makanan kesukaan orang Papua. Jika ditilik dari sisi budaya, pinang juga berfungsi untuk mempererat tali persaudaraan sesama masyarakat Papua.
Secara ekonomis, pinang juga membantu pendapatan keluarga masyarakat Papua terutama mama-mama di Pasar. Pinang dijual dengan harga yang bervariasi dimana yang pertumpuk dijual seharga Rp 5.000. Sedangkan pinang ojek, .(he..he asyik juga nih kedengarannya..) dijual seharga Rp. 1.000 rupiah. Jadi kalau pinang ojek artinya pada waktu membeli pinang biasanya si pembeli tersebut langsung memakan buah pinang tersebut lengkap dengan kapur dan lain sebagainya,” ya ibaratnya tahan ojek langsung naik dan bayar bila sudah sampai ditujuan....he..he apa hubungannya...?
Makan pinang bagi warga Papua adalah telah menjadi kebiasaan hari-hari layaknya seperti mengunya permen. Jika disepanjang terlihat banyak ceceran seperti darah, jangan khawatir itu bukan akibat perkelahian tetapi hanya ludah buangan para pengunya pinang.
Sayangnya jalanan kota ini kotor dengan noda merah, dari pinang yang menjadi makanan favorit orang papua, namun walau demikian biasa bercak-bercak merah yang biasanya terdapat di jalan-jalan atau tempat pembuangan sampah akan hilang dengan sendirinya apabila tiba-tiba turun hujan....tapi yg agak repot apabila ludah pinang tersebut di semburkan ke tembok...mungkin bagi yang melihatnya terutama petugas kebersihan akan mengatakan dalam hatinya "..capeee. dehhh. " tetapi inilah budaya makan pinang masyarakat Papua, terlihat asyik dan sangat unik jarang diketemukan di daerah-daerah lain.
Dan buat teman-teman yang mungkin sering mengkomsumsi Pinang...tidak perlu kuatir...karena kemungkinan makan pinang akan lebih menyehatkan dan memperkuat gigi, walau memang sedikit terlihat aneh bagi yang belum terbiasa melihatnya, namun inilah tradisi yang mungkin tidak akan pernah hilang bagi saudara-saudara kita di tanah Papua. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

Papeda Makanan Khas Papua

 
Papeda adalah makanan pokok saudara-saudara kita di Papua dan Maluku. Papeda dibuat dari tepung sagu, Dan tepung sagu ini biasanya dibuat oleh penduduk di pedalaman. 

Papeda ini sangat nikmat bila dimakan bersama kuah kuning, yakni sayur ikan yang kuahnya kuning. Sayur kuah kuningnya itu, ada rasa asam campur pedas. Hmmm, nikmat sekali, apalagi bila dimakan saat panas atau hangat.
Anda mungkin pernah mendengar makanan ini, tapi pernahkah anda membayangkan bagaimana bentuknya ? Bagi anda yang belum tahu, mungkin anda bisa membayangkan ‘kanji’. Tahu kan  tepung kanji yang dikasih air panas ? Kira-kira gimana bentuknya ? Seperti ‘Lem’ bukan ? Kalau ‘lem’ itu anda makan gimana rasanya ? heheh. Aneh pasti ya ?


Tepung sagu yang dipilih utuk membuat papeda harus yang baik, karna dapat menentukan kualitas papeda itu sendiri. Tapi bukan tepung sagu yang dijual di super market. Setahu saya, kualitas papeda yang saya makan berasal dari tepung sagu berwarna putih bersih yang agak  basah dan padat, artinya tidak sehalus tepung sagu yang dijual di supermarket. Tepung sagu yang saya kenal itu ditempatkan dalam satu wadah yang juga terbuat dari daun sagu, yang dinamakan ‘tumang’.
Cara membuat papeda walau kelihatannya mudah, tetapi tidak sembarang orang bisa melakukannya. Kalau sampai salah menakar, papeda yang dihasilkan terlalu cair. Biasanya tepung sagu dicairkan terlebih dahulu dengan air secukupnya (kadang dikasih gula dan garam juga). Setelah itu, gunakan air panas (mendidih) untuk dilarutkan ke tepung sagu yang sudah dicairkan tersebut. Pada saat air panas dituangkan, perlahan-lahan diaduk sehingga sagu matang secara merata.

Setelah hidangan pelengkap lain telah tersedia, papeda juga siap untuk disantap. Nah cara mengambil papeda dari tempatnya untuk dipindahkan ke piring tentu saja memerlukan cara tersendiri. Tidak bisa menggunakan sendok, seperti mengambil kuah dari wadahnya.  Biasanya papeda ‘digulung’ berulang-ulang dengan dua belah ’sumpit’ bambu hingga terpisah dari gumpalan papeda utama untuk dipindahkan ke piring makan. Setelah dirasa cukup, papeda di piring ditambahkan dengan kuah ikan kuning secukupnya,  ikan kuning itu sendiri atau ikan bakar yang ada. Papeda sendiri tidak memilki rasa, oleh karena itu sangat ditentukan dengan kelezatan Kuah ikan kuning. Inilah kunci dari hindangan papeda sesungguhnya.
Nah bagian paling seru adalah cara menyantapnya. Banyak orang yang tidak biasa, mungkin berpikir untuk menggunakan sendok seperti biasanya. Memang tidak ada yang malarang, namun penduduk asli Maluku atau Papua tidak akan menggunakan cara tersebut. Papeda yang sudah dicampur dengan kuah ikan kuning akan “disedot” perlahan-lahan dari ujung (pinggir) piring, sambil meminum kuah ikan kuning. Aneh ya ? Tapi itu cara mereka menyantapnya.
O yaa, papeda jangan dijadikan makanan utama atau tunggal kecuali bagi mereka yang sudah terbiasa,  apalagi untuk mempertahankan rasa kenyang. Karena selang beberapa jam kemudian anda akan merasa lapar kembali. Setelah menyantap papeda secukupnya, anda boleh beralih ke jenis makanan lain untuk melengkapi kebutuhan perut anda.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

Rumah Adat Papua (Honai)

 
Honai adalah rumah khas Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang.
Di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu terkenal, yakni honai. Rumah khas masyarakat Papua itu berbentuk lingkaran, terbuat dari kayu dan beratap jerami atau ilalang.
Satu keluarga bisa memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan dibatasi pagar kayu di sekelilingnya.
Tiap-tiap rumah dihuni satu pria beserta para istri dan anak-anak mereka. Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil serta rendah dan tidak memiliki jendela sebagai saluran ventilasi udara.
Konstruksi demikian dibuat dengan tujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Struktur rumah tradisional tersebut tersusun atas dua lantai.
Lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua lantai, tinggi rumah mencapai sekitar 2,5 meter.
Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat membuat api unggun untuk menghangatkan diri sekaligus sebagai tempat untuk memasak.
Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara arsitek terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural.
Eksplorasi materialnya pun dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan nilai fungsional bangunan.
Jika masuk ke dalam honai ini, kegelapan diiringi rasa hangat langsung menyergap. Pasalnya, di dalam ruang tidak terdapat satu pun jendela, yang ada hanya satu pintu.
Pada malam hari, penghuni rumah menggunakan kayu bakar untuk penerangan dan menghangatkan tubuh. Biasanya, sebagai alas tidur penduduk Wamena menggunakan rerumputan kering yang diganti secara berkala.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Burung Cenderawasih

 
Cendrawasih atau cenderawasih adalah nama berbagai jenis burung pengicau (Passeriformes) dari famili Paradisaeidae. Beberapa jenis di antaranya adalah
  • Cenderawasih Biru
  • Cenderawasih Gagak
  • Cenderawasih Goldi
  • Cenderawasih Kaisar
  • Cenderawasih Kerah
  • Cenderawasih Kuning-besar
  • Cenderawasih Kuning-kecil
  • Cenderawasih Mati-kawat
  • Cenderawasih Merah
  • Cenderawasih Panji
  • Cenderawasih Parotia
  • Cenderawasih Raggiana
  • Cenderawasih Raja
Beberapa hal yang menggunakan nama Cenderawasih adalah
Sejarah Cenderawasih. Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes, dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat topi wanita di Eropa. Perburuan untuk mendapat bulu dan perusakan habitat menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis ke tingkat terancm; perusakan habitat karena penebangan hutan sekarang merupakan ancaman utama.
Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya untuk perdagangan topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb 1997), namun sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat. Dalam hal Cendrawasih Panji, disarankan mengambil dari rumah sarang burung Namdur. Tatkala Raja Mahendra dari Nepal naik tahta pada tahun 1955, ternyata bulu burung cendrawasih pada mahkota kerajaan Nepal perlu diganti. Karena larangan perburuan, penggantian akhirnya diperbolehkan dari kiriman yang disita oleh hukum Amerika Serikat.
Pesan Sponsor
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise (‘burung surga’ oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda – yang berarti ‘tak berkaki’.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.

Asal Usul Sejarah Burung Cenderawasih

Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. Setiba di rumahnya, bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalamnya. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Papuaku " Taman Surga kecil yang Tuhan Ciptakan"


Papuaku.. nan indah bagai taman surga kecil yang Tuhan ciptakan untuk negeri yang tercinta ini.
Sebagai orang yang terlahir dan besar di tanah yang penuh dengan cinta damai ini..ingin sedikit memberi gambaran bahwa inilah tanah yang indah....disinilah kami hidup dan dibesarkan..dan sudah seharunya kami mencintai tanah ini ...dan berkarya di tanah yang penuh berkat ini...
Dengan potensi keindahan alam  & kesenian budaya yang beraneka ragam, sebagai generasi muda sudah seharunya kita menjaga dan melestarikan serta menanamkan rasa jiwa kecintaan kita, untuk membangun tanah Papua ini, dengan demikian kita akan merasa bangga bahwa inilah sesungguhnya jati diri kita sebagai orang Papua yang selalu cinta akan kedamaian dan saling menghormati serta menyanyangi saudara-saudara kami yang ada di daerah Tanah papua ini.
Sebagai Orang yang hidup di Papua kita wajib menjaga serta melindungi semua hasil budaya kesenian di tanah Papua karena selain bernilai sejarah juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Pentingnya perhatian masyarakat serta teman-teman semua di tanah Papua ini untuk terus menjaga kelestarian budaya dan kesenian di daerah ini, karena dengan nilai seni yang baik tentunya akan memberi dampak positif bagi masyarakat setempat.
Saat ini khususnya di Kota Jayapura sebentar lagi akan mengadakan ivent akbar salah satunya adalah Festival Danau Sentani Ke-5 dan juga tak kalah meriahnya lagi adalah salah satu agenda Raimuna Nasional ke-10 Tahun 2012, secara tidak langsung mata dunia luar akan tertuju dengan diadakannya ivent akbar ini olehnya itu sebagai masyarakat yang peduli serta cinta akan budaya dan keindahan alam Papua ini, kita wajib untuk mempromosikan akan keindahan panorama alam Papua.
“Dalam rangka meningkatkan nilai seni dan budaya Papua, kami sebagai pemuda-dan pemudi di daerah ini akan berupaya untuk terus memperluas informasi wawasan kepada saudara-saudara kami diluar pulau Papua, bahwa disini yaitu khususnya di tanah Papua adalah merupakan daerah zona damai dan aman, tidak seperti yang diberitakan selama ini di media massa bahwa di tanah Papua adalah daerah yang rawan penuh dengan konflik,.. sesungguhnya itu tidaklah benar.
Yang perlu diperhatikan saat ini bagaimana kita sebagai masyarakat yang berada di tanah yang damai ini terus memberikan gambaran kepada dunia luar bahwa kami siap menyambut saudara-saudara kami yang ingin berkunjung ke tanah Papaua, juga kami ingin menyampaikan bahwa kami bangga menjadi bagian dari tanah yang diberkati tuhan hingga saat ini, dan yang paling utama ingin kami sampaikan bahwa selama ini kami hidup berdampingan dengan saudara-saudara kami dari luar daerah ini, namun kami tetap saling cinta damai dan menjunjung tinggi toleransi dalam beragama serta menghormati budaya dan menjunjung tinggi adat istiadat yang telah diwariskan sejak lama oleh penduduk masyarakat setempat disini.
Inilah sebagian gambaran dari Tanah Papua...dengan panorama alamnya yang indah serta masyarakat yang ramah akan selalu menyambut saudara-saudara dengan tangan terbuka.
WELCOME to Tanah Papua....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1