Cendrawasih atau cenderawasih adalah nama berbagai jenis burung pengicau (Passeriformes) dari famili Paradisaeidae. Beberapa jenis di antaranya adalah
- Cenderawasih Biru
- Cenderawasih Gagak
- Cenderawasih Goldi
- Cenderawasih Kaisar
- Cenderawasih Kerah
- Cenderawasih Kuning-besar
- Cenderawasih Kuning-kecil
- Cenderawasih Mati-kawat
- Cenderawasih Merah
- Cenderawasih Panji
- Cenderawasih Parotia
- Cenderawasih Raggiana
- Cenderawasih Raja
Beberapa hal yang menggunakan nama Cenderawasih adalah
Sejarah Cenderawasih.
Burung Cenderawasih dapat Anda temukan di Indonesia timur, pulau-pulau
selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Jenis burung ini
merupakan anggota famili famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes,
dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu
yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau
kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50
gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan
Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Masyarakat di Papua sering memakai bulu cendrawasih dalam pakaian dan
adat mereka, dan beberapa abad yang lalu bulu itu penting untuk dibuat
topi wanita di Eropa. Perburuan untuk mendapat bulu dan perusakan
habitat menyebabkan penurunan jumlah burung pada beberapa jenis ke
tingkat terancm; perusakan habitat karena penebangan hutan sekarang
merupakan ancaman utama.
Perburuan burung cendrawasih untuk diambil bulunya
untuk perdagangan topi marak di akhir abad 19 dan awal abad 20 (Cribb
1997), namun sekarang burung-burung itu dilindungi dan perburuan hanya
dibolehkan untuk kebutuhan perayaan dari suku setempat. Dalam hal
Cendrawasih Panji, disarankan mengambil dari rumah sarang burung Namdur.
Tatkala Raja Mahendra dari Nepal naik tahta pada tahun 1955, ternyata
bulu burung cendrawasih pada mahkota kerajaan Nepal perlu diganti.
Karena larangan perburuan, penggantian akhirnya diperbolehkan dari
kiriman yang disita oleh hukum Amerika Serikat.
Pesan Sponsor
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah
anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning
besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang
dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh
pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan
hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan
kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di
udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise
(‘burung surga’ oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda – yang berarti
‘tak berkaki’.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin
jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk
bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin.
Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia
memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang
dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang
dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan
kevalidannya.
Asal Usul Sejarah Burung Cenderawasih
Di Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat, pada zaman
dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya. Suatu
hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari
makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena
persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah
berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh
pohon pandan yang berbuah lebat. Perempuan tua itu pun segera memetik
beberapa buah pandan lalu diberikannya kepada anjingnya yang kelaparan.
Anjing betina itu langsung melahap buah pandan itu hingga badannya
terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu
yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin
membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak
lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan itu juga bermaksud memakan buah pandan
agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah pandan itu,” kagum perempuan itu, “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah pandan lalu memakannya. Begitu ia
menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa
dengan anjingnya. Dengan perut yang semakin lama semakin membesar, ia
bergegas pulang. Setiba di rumah, ia pun melahirkan seorang anak
laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya tumbuh menjadi dewasa. Kweiya sangat
rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang
satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu
membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal
pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari,
ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua
yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal
tersebut. Setelah menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam, sampailah
ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu ia mendapati seorang pemuda
tampan sedang menebang hutan di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu, “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya,” jawab pemuda itu, “Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya.”
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada
orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini,” kata pria tua itu, “Kamu akan lebih cepat menebang pohon.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu
singkat, ia mampu merobohkan puluhan pohon yang besar. Setelah itu, ia
bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya.
Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon itu, Anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan
mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab
Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu,
Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya,
Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus
memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya pun memasak makanan yang cukup banyak.
Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam
perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan
sejumlah pohon tebu yang lengkap dengan daunnya. Setiba di rumahnya,
bungkusan tersebut di letakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke
dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya
agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Alangkah terkejut ia
begitu ia membuka bungkusan itu. Ia mendapati seorang pria tua sedang
berbaring di dalamnya. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya
berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum sera menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,’ ucap Kweiya, “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti
Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di
hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun
menerima permintaan anaknya. Sejak itulah, pria tua itu tinggal bersama
mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak
laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua
itu. Kweiya pun menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik
kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan
persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik
laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu
mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua
adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal,
Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih
bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari
kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan
dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika
mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu pun bertanya
kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu, Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Rupanya, mereka takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang
menyebabkan Kweiya minggat pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka
yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka.
Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia
kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah.
Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek… ek… ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan
benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan
selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah
mereka. Rupanya, Kweiya telah berubah menjadi seekor burung yang amat
indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu
pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanyanya.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkannya
pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian
mengepak-epakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger
di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung
cenderawasih terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong… wong… wong… wong…! Ko… ko… kok… ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di
Fak-Fak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung
cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam
bahasa Lha disebut Siangga dan Hanggam Tombor untuk burung cenderawasih
betina.
Kedua adik laki-laki Kweiaya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu
hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka
akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku.
Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang
menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi
burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak
mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fak-Fak lebih banyak dipenuhi
oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung
cenderawasih.
* * *