Koteka terbuat dari kulit Labu air, Lagenaria siceraria.
Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah,
kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di
Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan
dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas
pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat
dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek
digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan
dalam Upacara Adat.
Namun demikian, setiap suku memiliki
perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang
panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari.
Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah.
Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Dikawasan Pegunungan yaitu seperti di Wamena, koteka masih dipakai. Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus
merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang
lebih sulit lagi menemukannya.
Pembuatan koteka tersebut adalah buah
yang mirip labu atau disebut bobbe oleh penduduk setempat, ini akan
dipetik apabila buah tersebut sudah tua, kemudian buah tersebut
dimasukkan kedalam
pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah
panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji
beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe
digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering
dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.
Mengenai ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pakaiannya, ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku disana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Mengenai ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pakaiannya, ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku disana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Sedikit melihat sejarah kebelakang bahwa pada Tahun 1950-an, para
Misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai penganti
koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu
kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka.
Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye anti koteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan
pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu
akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang
penyakit kulit.
Nah saat ini kita sudah jarang melihat orang memakai pakaian ini,
apalagi di daerah yang saat ini sudah semakin maju dengan aktivitas dan
peradabannya, bagi teman-teman yang mungkin penasaran atau kepingin liat
orang memakai Koteka mungkin hanya ada disaat acara-acara adat
berlangsung itupun biasanya kita harus berkunjung ke daerah Wamena, dan
bila kalian ingin berfoto dengan penduduk suku setempat yang memakai
Koteka ini siapkan uang anda karena saat ini apapun itu bentuknya sudah
jarang yang istilah Gratis..he..he... dan juga bagi teman-teman yang
kepingin koleksi Koteka, ini bisa banyak di dapatkan di tempat penjualan
Souvenir-souvenir di Papua, tinggal tanya saja dimana tempat penjualan
Souvenir Papua, pasti masyarakat setempat di papua sudah hapal diluar
kepala dengan tempat-tempat yang menjual souvenir tersebut...kalo tidak
percaya silahkan berkunjung ke Papua dan tanyakan sendiri..dijamin
bakalan tidak pake lama deh...Jawabannya..
0 komentar:
Posting Komentar